Sabtu, 03 Desember 2011

Post Industrial City

Post industrial City atau kota pasca industri adalah sebuah kota yang berkembang setelah adanya gerakan reformasi akibat revolusi industri dan muncul sekitar awal abad ke-20. Berikut ini adalah beberapa pengertian Post industrial City menurut beberapa ahli :
a.    A Post Industrial City can be define as a city with an employment profile focused on advanced sevices-that is, jobs in the professions, management, administration, and skilled technical sectors (Johnson et al, 2000:616)
Sebuah kota pasca industri dapat didefinisikan sebagai kota dengan profil tenaga kerja yang difokuskan pada kemajuan layanan-yaitu profesional kerja, amanjemen, administrasi, dan teknik ketrampilan di berbagai sektor (Johnson et al, 2000:616).
b.   The post industrial landscape reflects this shift from the secondary to a service based economy, whereby cities “deconcentrate” and spread to become complex systems of cities linked together by flows of people and information (Hall, 1997:316)
Lansekap pasca industri mencerminkan pergeseran dari sekunder ke pelayanan bebasis ekonomi, dimana kota-kota tidak memusat dan dan menyebar untuk menjadi kota-kota dengan sistem-sistem yang kompleks dihubungkan bersama dengan arus orang dan informasi (Hall, 1997:316).
Terdapat beberapa ciri khas dari kota pasca industri ini, yaitu :
1.  Kegiatan ekonomi mengalami perubahan atau transisi dari produksi kegiatan penyediaan barang dan berubah menjadi kegiatan penyedia layanan atau jasa.
2.   Pengetahuan menjadi kunci atau modal utama.
3.   Menciptakan ide-ide baru menjadi jalan untuk dapat mengembangkan ekonomi.
4. Melalui proses globalisasi dan otomatisasi, penggunaan tenaga kerja manual dapat diminimalisasi sedangkan penggunaan tenaga kerja profesional (misal: ilmuwan, kreatif-industri profesional, dan IT profesional) dapat dioptimalkan.
5.  Informasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang dikembangkan dan diimplementasikan.
Jadi, terdapat beberapa karakter dari masyarakat Post Industrial City, yaitu kegiatan penyediaan layanan lebih mendominasi dibandingkan kegiatan peneyediaan barang seperti industri dan manufaktur. Penurunan sektor manufaktur ini dapat menyebabkan de-industrialisasi. Perkembangan IPTEK menjadi point penting bagi sebuah inovasi baru untuk dapat mengembangkan kegiatan perekonomian, serta tingkat urbanisasi yang terjadi di daerah Post Industrial City cukup tinggi. Hal ini dikarenakan banyak penduduk yang ingin bekerja di pusat kota Post Industrial City, lalu mendirikan permukiman-permukiman baru di sekitar kota tersebut sebagai tempat tinggal guna mempermudah mobilitas. Sistem sosial yang ada bersifat sosialis, dimana semua aset dimiliki negara karena tujuan dari Post Industrial City ini adalah menciptakan kesan satu rasa sama rata.

Teori Lokasi Industri - Losch

August Losch, adalah seorang ekonom Jerman dan menulis sebuah buku berjudul The Economics of Location (1954). Teori Losch berprinsip pada persoalan dari sisi permintaan (pasar), berbeda dengan Weber yang melihat persoalan dari sisi penawaran (produksi). Losch mengatakan bahwa lokasi penjual sangat berpengaruh terhadap jumlah konsumen. Makin jauh dari tempat penjual, konsumen makin enggan membeli karena biaya transportasi untuk mendatangi tempat penjual semakin mahal. Sehingga, Losch menyarankan agar lokasi produksi berada di pasar atau di dekat pasar.
Dalam teorinya, Losch memperkenalkan potensi permintaan (demand) sebagai faktor penting dalam penentuan lokasi industri dan mengkritik pendahulunya yang selalu mengacu pada pada biaya produksi terkecil, padahal sebenarnya yang seharusnya dilakukan adalah memaksimakan keuntungan yang di dapat (profit-revenue maximation). Dengan berbagai asumsinya, Losch menjabarkan bagaimana terjadinya economic landscape, yang merupakan keseimbangan (equilibrium) antara supply dan demand.
Terdapat beberapa asumsi yang digunakan Losch, yaitu :
Setiap lokasi industri harus menjamin keuntungan maksimum bagi penjual maupun pembeli.
Terdapat cukup banyak usaha pertanian dengan penyebaran cukup merata, sehingga seluruh permintaan yang ada dapat dilayani.
  • Terdapat free entry dan tak ada petani yang memperoleh super normal profit sehingga tidak ada rangsangan bagi petani dari luar untuk masuk dan menjual barang yang sama di daerah tersebut.
  • Daerah penawaran adalah sedemikian sehingga memungkinkan petani yang ada untuk mencapai besar optimum.
  • Sikap konsumen yang indefferent terhadap penjual manapun dan menjadi satu-satunya pertimbangan untuk membeli adalah harga yang rendah.
Losch berpendapat bahwa akhirnya luas daerah pasar masing-masing petani penjual akan mengecil dan dalam keseimbangannya akan terbentuk segienam beraturan. Bentuk ini dipilih karena menggambarkan daerah penjualan terbesar yang masih dapat dikuasai setiap penjual dan berjarak minimum dari tempat lokasi kegiatan produksi yang bersangkutan. Keseimbangan yang dicapai dalam teori Losch, hanya dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran, oleh karenanya keseimbangan akan terganggu bila salah seorang penjual menaikkan harga jual. 
Jadi, kesimpulan dari Teori Losch adalah bahwa permintaan (demand) menjadi faktor utama dalam penentuan lokasi industri. Lokasi penjual sangat mempengaruhi minat konsumen untuk datang. Makin jauh dari pasar, konsumen menjadi enggan membeli karena tidak sebanding dengan biaya transportasi yang harus dibayarkan. Sehingga, untuk mengatasinya, menurut Losch sebaiknya lokasi produksi diletakkan dekat dengan pasar.

Teori Lokasi - Weber

Teori lokasi adalah sebuah ilmu yang menyelidiki tata ruang dari suatu kegiatan ekonomi. Terdapat beberap faktor yang harus dipertimbangkan sebelum menentukan lokasi, antara lain ketersediaan bahan baku, upah buruh, jaminan keamanan, fasilitas penunjang, daya serap pasar lokal, dan aksesibilitas dari tempat produksi ke wilayah pemasaran yang dituju (terutama aksesibilitas pemasaran ke luar negeri), stabilitas politik suatu negara, dan kebijakan daerah (peraturan daerah).
Menurut teori lokasi industri yang dikemukakan Alfred Weber (1909), pemilihan lokasi industri didasarkan atas prinsip minimalisasi biaya. Weber menyatakan bahwa lokasi setiap industri tergantung pada total biaya transportasi dan tenaga kerja di mana penjumlahan keduanya harus minimum. Tempat di mana total biaya transportasi dan tenaga kerja yang minimum adalah identik dengan tingkat keuntungan yang maksimum.
Dalam merumuskan modelnya, Weber berbasis pada beberapa asumsi utama:
  1. Bidang bahasan adalah suatu wilayah yang terisolasi, iklim yang homogen, konsumen terkonsentrasi pada beberapa pusat, dan kondisi pasar adalah persaingan sempurna.
  2. Beberapa sumber daya alam seperti air, pasir, dan batu-bata tersedia dimana-mana (ubiquitous) dalam jumlah yang memadai.
  3. Material lainnya seperti bahan bakar mineral dan tambang tersedia secara sporadis dan hanya terjangkau pada beberapa tempat terbatas.
  4. Tenaga kerja tidak ubiquitous (tidak tersebar secara merata) tetapi berkelompok pada beberapa lokasi dan dengan mobilitas yang terbatas.
Terdapat 3 faktor yang dapat mempengaruhi lokasi industri, yaitu biaya transportasi, upah tenaga kerja, dan kekuatan aglomerasi atau deaglomerasi. Dalam menjelaskan keterkaitan biaya transportasi dan bahan baku, Weber menggunakan konsep segitiga lokasi (locational triangle) untuk memperoleh lokasi optimum. Untuk menunjukkan apakah lokasi optimum tersebut lebih dekat ke lokasi bahan baku atau pasar, Weber merumuskan indeks material (IM), sedangkan biaya tenaga kerja sebagai salah satu faktor yang dapat mempengaruhi lokasi industri, dijelaskan Weber dengan menggunakan sebuah kurva tertutup (closed curve) berupa lingkaran yang dinamakan isodapan (isodapane).
Adapun rentang nilai IM yang dikelompokkan oleh Weber:
·  IM > 1,  berat bahan mentah > dari hasil produksi produk, sehingga lokasi industri dekat sumber bahan mentah (bahan baku)
·  IM < 1, berat bahan mentah < dari hasil produksi, sehingga lokasi industri dekat pasar
·  IM = 1, berarti berat bahan mentah = hasil produksi, sehingga lokasi industri dapat diletakkan dimana-mana

Selain itu, Weber juga mengelompokkan industri menjadi dua jenis, yaitu :
  • Industri weight losing. Adalah industri yang hasil produksinya < berat bahan baku, misal industri kertas. Industri ini memiliki indeks material (IM) > 1. Dengan IM > 1, maka biaya transportasi bahan baku menuju pabrik akan lebih mahal apabila dibandingkan dengan biaya transportasi produk jadi menuju pasar. Oleh karena itu, lokasi industri seharusnya diletakkan di dekat sumber bahan baku.
  • Industri weight gaining. Karena berat bahan baku < hasil produksi (IM < 1), maka lokasi industri akan lebih baik diletakkan di dekat pasar.
Weber juga menjelaskan mengenai adanya gelaja aglomerasi industri. Gejala aglomerasi merupakan pemusatan produksi di lokasi tertentu sehingga dapat membuat sebuah daerah baru khusus industri. Pemusatan produksi dapat terjadi dalam satu perusahaan atau dalam berbagai perusahaan yang mengusahakan berbagai produk. Terdapat beberapa sebab yang dapat memicu terjadinya aglomerasi :
1. Tenaga kerja tersedia banyak dan banyak yang memiliki kemampuan dan keahlian yang lebih baik dibanding di luar daerah tersebut.
2.  Suatu perusahaan menjadi daya tarik bagi perusahaan lain.
3. Berkembangnya suatu perusahaan dari kecil menjadi besar, sehingga menimbulkan perusahaan lain untuk menunjang perusahaan yang membesar tersebut.
4.  Perpindahan suatu kegiatan produksi dari satu tempat ke beberapa tempat lain.
5. Perusahaan lain mendekati sumber bahan untuk aktifitas produksi yang dihasilkan oleh perusahaan yang sudah ada untuk saling menunjang satu sama lain.
Aglomerasi yang terjadi dapat membawa dampak untuk menarik industri dari lokasi biaya angkutan minimum, karena membawa berbagai bentuk penghematan ekstern yang disebut aglomeration economies, sehingga perpindahan ini dapat mengakibatkan kenaikan biaya angkutan.
Jadi, kesimpulan dari Teori Weber adalah lokasi industri tergantung pada total biaya transportasi dan tenaga kerja di mana penjumlahan keduanya harus minimum. Dan terdapat 3 faktor yang dapat mempengaruhi lokasi industri, yaitu biaya transportasi, upah tenaga kerja, dan kekuatan aglomerasi atau deaglomerasi. Menurut Weber, total biaya transportasi dan tenaga kerja yang minimum adalah syarat untuk mencapai keuntungan maksimum, dan aglomerasi/pemusatan industri di suatu daerah tertentu juga dapat menghasilkan keuntungan maksimum karena dapat menekan biaya transportasi.

Zona Lahan dan Struktur Ruang Kota

Lahan merupakan bagian dari bentang alam (landscape) yang mencakup pengertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, tanah, hidrologi, dan keadaan vegetasi alami yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan (FAO, 1976). Seiring perkembangan kebutuhan dan aktivitas manusia, lahan yang ada jumlahnya semakin sedikit dan terbatas. Oleh karena itu diperlukan arahan agar penggunaan lahan dapat dimanfaatkan secara optimal sesuai kualitas, karakteristik, dan kemampuan atau daya dukung lahan agar dapat menampung segala aktivitas fisik di atasnya. Demi mencapai tujuan itu, diperlukan suatu alokasi pemanfaatan guna lahan.
Rencana tata ruang merupakan dasar pemanfaatan ruang atau lahan. Rencana tata ruang adalah produk rencana yang berisi rencana pengembangan struktur ruang dan rencana pola pemanfaatan ruang yang hendak dicapai pada akhir tahun perencanaan. Rencana tata ruang yang berkualitas merupakan prasyarat dalam penyelenggaraan penataan ruang. Namun, rencana tata ruang tersebut harus didukung dengan pengendalian pemanfaatan ruang yang tegas dan konsisten untuk menjamin agar pemanfaatan ruang atau lahan dapat tetap sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan.
Zona adalah kawasan atau area yang memiliki fungsi dan karakteristik lingkungan yang spesifik. Zonasi terhadap lahan adalah salah satu hal penting dalam kegiatan perencanaan wilayah. Bintarto (1989) menjelaskan bahwa perkembangan kota dapat dilihat dari aspek zona-zona yang berada di dalam wilayah perkotaan. Perkembangan kota terlihat dari penggunaan lahan yang membentuk zona-zona tertentu dalam ruang perkotaan. Zonasi ini muncul karena terdapat perbedaan nilai lahan akibat munculnya pembagian lahan (zoning) sesuai dengan kebutuhan dan fungsi lahan tersebut.  Penetapan pembagian zona terinci dalam rencana tata ruang. Contoh pembagian zona lahan, seperti lahan untuk kegiatan industri, lahan untuk perumahan, lahan untuk kegiatan perdagangan dan jasa, dan lahan untuk kegiatan pemerintahan. Dengan adanya zoning dan peraturan zonasi yang telah terinci dalam rencana tata ruang,  diharapkan kegiatan pembangunan dapat berjalan baik karena terdapat pemisahan guna lahan sehingga dapat tercapainya penggunaan lahan secara maksimal tanpa adanya gangguan dari penggunaan lahan lain yang ada di dekatnya. 
Struktur ruang merupakan suatu susunan pusat-pusat permukiman, sistem jaringan serta sistem prasarana maupun sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial-ekonomi yang secara hirarki berhubungan fungsional. Rencana struktur ruang wilayah kota merupakan kerangka sistem pusat-pusat pelayanan kegiatan kota yang berhierarki dan satu sama lain dihubungkan oleh sistem jaringan prasarana wilayah kota. Struktur ruang kota memiliki elemen-elemen pembentuk, yaitu
  1. Kumpulan dari pelayanan jasa termasuk di dalamnya perdagangan, pemerintahan, keuangan yang cenderung terdistribusi secara berkelompok dalam pusat pelayanan.
  2. Kumpulan dari industri sekunder (manufaktur) pergudangan dan perdagangan grosir yang cenderung untuk berkumpul pada suatu tempat.
  3. Lingkungan permukiman sebagai tempat tinggal dari manusia dan ruang terbuka hijau.
  4. Jaringan transportasi yang menghubungkan ketiga tempat di atas.
Terdapat 3 teori utama yang melandasi struktur ruang kota, yaitu :
1.  Teori Konsentris (Burgess, 1925) yang menyatakan bahwa Daerah Pusat Kota (DPK) atau Central Bussiness District (CBD) adalah pusat kota yang letaknya tepat di tengah kota dan berbentuk bundar yang merupakan pusat kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik, serta merupakan zona dengan derajat aksesibilitas tinggi dalam suatu kota.
2.  Teori Sektoral (Hoyt, 1939) menyatakan bahwa DPK atau CBD memiliki pengertian yang sama dengan yang diungkapkan oleh Teori Konsentris.
3. Teori Pusat Berganda (Harris dan Ullman, 1945) menyatakan bahwa DPK atau CBD adalah pusat kota yang letaknya relatif di tengah-tengah sel-sel lainnya dan berfungsi sebagai salah satu “growing points”. Zona ini menampung sebagian besar kegiatan kota, berupa pusat fasilitas transportasi dan di dalamnya terdapat distrik spesialisasi pelayanan, seperti “retailing” distrik khusus perbankan, teater dan lain-lain (Yunus, 2000:49).
Jadi, kesimpulan yang dapat diambil adalah pusat kota (CBD) merupakan pusat segala aktivitas kota dan merupakan lokasi strategis untuk berbagai aktivitas terutama dalam kegiatan perdagangan karena memiliki aksesibilitas yang tinggi. Dan semakin dekat dengan pusat kota (CBD) maka nilai lahan akan semakin tinggi. Terdapatnya perbedaan zona lahan dan struktur ruang kota dipengaruhi oleh lokasinya terhadap pusat kota atau pasar.





Sumber :  


Dasar-Dasar Teori Von Thunen


Johann Heinrich von Thunen adalah seorang ahli ekonomi pertanian dari Jerman. Von Thunen adalah orang pertama yang membuat model analitik dasar dari hubungan antara pasar, produksi, dan jarak. Pada tahun 1826, ia mengungkapkan sebuah teori yang tertuang dalam buku Der Isolirte Staatd dan teori ini terkenal dengan nama teori ekonomi lokasi modern.  Dalam bukunya itu, ia menjabarkan keterkaitan antara ekonomi keruangan (spatial economics) dengan teori sewa (theory of rent). Dalam menjelaskan teorinya, Von Thunen menggunakan contoh kasus tanah pertanian. Von Thunen menggambarkan bahwa perbedaan biaya transportasi komoditas pertanian dari tempat produksi ke pasar akan mempengaruhi jenis penggunaan tanah yang ada di suatu daerah.
Terdapat 7 asumsi yang dikemukakakan oleh Von Thunen mengenai tanah pertanian yang dikeluarkan sebelum era industrialisasi, yaitu :
1. Terdapat suatu daerah terpencil yang terdiri atas daerah perkotaan dengan daerah pedalamannya dan merupakan satu-satunya daerah pemasok kebutuhan pokok yang merupakan komoditi pertanian (isolated stated).
2. Daerah perkotaan tersebut merupakan daerah penjualan kelebihan produksi daerah pedalaman dan tidak menerima penjualan hasil pertanian dari daerah lain (single market).
3. Daerah pedalaman tidak menjual kelebihan produksinya ke daerah lain kecuali ke daerah perkotaan (single destination).
4. Daerah pedalaman merupakan daerah berciri sama dan cocok untuk tanaman dan peternakan dalam skala menengah.
5. Daerah pedalaman dihuni oleh petani yang berusaha untuk memperoleh keuntungan maksimum dan mampu untuk menyesuaiakan hasil tanaman dan peternakannya dengan permintaan yang terdapat di daerah perkotaan (maximum oriented).
6. Satu-satunya angkutan yang terdapat pada waktu itu adalah angkutan darat berupa gerobak yang dihela oleh kuda (one moda transportation).
7. Biaya angkutan ditanggung oleh petani dan besarnya sebanding dengan jarak yang ditempuh. Petani mengangkut semua hasil dalam bentuk segar (equidistant).
              Dari asumsi-asumsi diatas, memunculkan anggapan bahwa perlunya para petani untuk menyewa lahan di dekat pusat pasar atau pusat kota. Hal ini dimaksudkan untuk pencapaian keuntungan hasil pertanian yang maksimal terutama dalam hal biaya transportasi serta waktu tempuh menuju pasar. Namun, penyewaan lahan dekat pasar ini mengakibatkan nilai sewa lahan menjadi tinggi. Hal ini disebabkan oleh langkanya lahan yang ada karena telah banyak digunakan sebagai aktivitas perdagangan, jasa, dan industri. Sehingga, untuk mendapatkannya diperlukan harga sewa yang mahal. Ini sesuai dengan hukum ekonomi demand and supply yang menyatakan bahwa semakin tinggi demand, maka barang yang ditawarkan semakin banyak dan harga jualnyapun juga semakin mahal. Sebaliknya, semakin jauh dari pusat kota atau pasar maka nilai sewa lahannya menjadi lebih murah akibat ketersediaan sewa lahan yang masih cukup banyak. Pernyataan diatas adalah salah satu contoh masih relevannya teori Von Thunen dalam konteks perdagangan.
Dalam perkembangannya, teori Von Thunen menjadi kurang relevan lagi akibat munculnya teknologi. Contoh kekurang relevanan tersebut, yaitu :
1.   Kemajuan transportasi dapat menghemat waktu dan biaya.
2.  Terdapat beberapa daerah yang tidak hanya memiliki 1 market center saja, tetapi juga 2 market center.
3. Kondisi topografis setiap daerah berbeda-beda, sehingga hasil pertanian yang akan dihasilkan juga akan berbeda.
4. Negara industri mampu membentuk kelompok produksi sehingga tidak terpengaruh pada kota.
5.  Antara produksi dan konsumsi telah terbentuk usaha bersama menyangkut pemasarannya.
6. Petani yang berlokasi dekat pasar/kota memilki alternatif komoditas pertanian yang lebih bila dibandingkan dengan petani yang berlokasi jauh dari pusat kota/pasar.
 Jadi, kesimpulannya adalah nilai sewa terhadap suatu lahan berbeda-beda tergantung dari nilai guna lahannya. Semakin dekat dengan pusat pasar/kota harga sewanya semakin tinggi, hal ini dikarenakan oleh kelangkaan lahan yang terjadi bila dibandingkan dengan permintaan akan lahan karena semakin dekat dengan pusat pasar/kota berbagai aktivitas dapat berkembang pesat akibat letaknya yang strategis serta kemudahan akses. Selain itu, infrastruktur yang tersediapun juga lebih baik dan memadai. Namun, bagi mereka yang memiliki kurang cukup modal untuk menyewa lahan yang dekat dengan pusat pasar/kota dengan munculnya alat-alat transportasi, biaya dan waktu untuk menuju pasar/kota juga dapat diminimalkan.