Sejarah Candi Borobudur
Candi Borobudur dibuat pada masa Wangsa Syailendra yang Buddhis di bawah kepemimpinan Raja Samaratungga. Pembangunan candi ini dilakukan untuk mengagungkan agama Budha Mahayana. Arsitektur yang menciptakan candi, berdasarkan tuturan masyarakat bernama Gunadharma. Pembangunan candi itu selesai pada tahun 847 M. Menurut prasasti Klurak (784M) pembuatan candi ini dibantu oleh seorang guru dari Ghandadwipa (Bengalore) bernama Kumaragacya yang sangat dihormati, dan seorang pangeran dari Kashmir bernama Visvawarman sebagai penasihat yang ahli dalam ajaran Buddis Tantra Vajrayana. Pembangunan candi ini dimulai pada masa Maha Raja Dananjaya yang bergelar Sri Sanggramadananjaya, dilanjutkan oleh putranya, Samarotthungga, dan oleh cucu perempuannya, Dyah Ayu Pramodhawardhani.
Candi Borobudur yang telah lama digunakan sebagai pusat ziarah, Setelah berakhirnya kerajaan Mataram tahun 930 M, lama-lama mulai terbengkalai. Kira-kira pada abad ke-10 Candi Borobudur mulai terlupakan. Baru pada tahun 1814 M, Sir Thomas Stamford Raffles, Letnan Gubernur Jendral Inggris menemukan kembali Candi Borobudur tersebut. Ia mendapat berita tentang adanya bukit yang dipenuhi batu-batu berukir. Lalu, Raffles mengutus Cornellius, seorang pengagum seni dan sejarah untuk membersihkan bukit tersebut. Setelah dibersihkan selama 2 bulan, candi terlihat kembali jelas. Dan pada tahun 1834, usaha pembersihan dilakukan kembali oleh Residen Kedu, Hatmann. Permbersihan tersebut dilakukan oleh presiden kedua yang bernama Hartman yang begitu tertariknya dengan Candi Bororbudur, dan ia melakukan usaha pembersihan lebih lanjut. Puing-puing yang masih menutupi candi dibersihkan dan tanah yang menutupi lorong-lorong candi dibersihkan,sehingga candi kembali terlihat indah.
Sebelum dipugar, Candi Borobudur hanya berupa reruntuhan seperti halnya artefak-artefak candi yang baru ditemukan. Kemudian dilakukan usaha-usaha kecil serta pembuatan gamabar-gambar dan foto-foto direliefnya sebagai uasaha perbaikan. Pemugaran selanjutnya oleh Cornelius pada masa Raffles maupun Residen Hatmann, setelah itu periode selanjutnya dilakukan pada 1907-1911 M oleh Theodorus van Erp yang membangun kembali susunan bentuk candi dari reruntuhan karena dimakan zaman sampai kepada bentuk sekarang. Pemugaran candi tersebut dilakukan adalah untuk menghindari kerusakan – kerusakan yang lebih besar lagi dari bangunan Candi Borobudur. Banyak bagian tembok atau dinding – dinding terutama tingkat tiga dari bawah sebelah Barat Laut, Utara dan Timur Laut yang masih tampak miring dan sangat mengkhawatirkan bagi para pengunjung maupun bangunan candi itu sendiri, sehingga diperlukan usaha pemugaran candi.
Banyak ahli purbakala yang menafsirkan mengenai arti kata Borobudur. Diantaranya, Prof. Dr. Poerbotjoroko menerangkan bahwa kata Borobudur berasal dari dua kata Bhoro dan Budur. Bhoro berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti bihara atau asrama atau vihara, sedangkan kata Budur merujuk pada kata yang berasal dari Bali Beduhur yang berarti di atas. Pendapat ini dikuatkan oleh Prof. Dr. WF. Stutterheim yang berpendapat bahwa Borobudur berarti Bihara (Vihara) di atas sebuah bukit.
Prof. JG. De Casparis mendasarkan pada Prasasti Karang Tengah yang menyebutkan tahun pendirian bangunan ini, yaitu Tahun Sangkala: rasa sagara kstidhara, atau tahun Saka 746 (824 Masehi), atau pada masa Wangsa Syailendra yang mengagungkan Dewa Indra. Dalam prasasti terdapat nama Bhumisambharabhudhara yang berarti tempat pemujaan nenek moyang bagi arwah-arwah leluhurnya. Pergeseran kata Bhumisambharabhudhara menjadi nama Borobudur disebabkan faktor pengucapan masyarakat setempat.
Candi Borobudur merupakan candi terbesar kedua setelah Candi Angkor Wat di Kamboja. Luas bangunan Candi Borobudur sendiri sekitar 15.129 m2, tersusun atas 55.000 m3 batu, 2 juta potongan-potongan batu dengan ukuran rata-rata batu 25 cm x 10 cm x 15 cm. Panjang potongan batu secara keseluruhan sepanjang 500 km dengan berat batu keseluruhan 1,3 juta ton. Dinding-dinding Candi Borobudur dikelilingi oleh relief-relief yang merupakan satu rangkaian cerita yang tersusun dalam 1.460 panel. Panjang panel masing-masing 2 meter. Jika rangkaian relief itu dibentangkan maka kurang lebih panjang relief seluruhnya sekitar 3 km.
Candi Borobudur terdiri dari 10 tingkat. Tingkat 1-6 berbentuk nujur sangkar, dan tingkat 7-10 berbentuk bundar. Arca yang terdapat pada seluruh bangunan candi berjumlah 504 buah. Tinggi candi dari permukaan tanah hingga puncak stupa dulunya 42 meter, namun sekarang tinggal 34,5 meter akibat tersambar petir.
Menurut hasil penyelidikan seorang antropolog-etnolog Austria, Robert von Heine Geldern, nenek moyang bangsa Indonesia sudah mengenal tata budaya pada zaman Neolithic dan Megalithic yang berasal dari Vietnam Selatan dan Kamboja. Pada zaman Megalithic itu nenek moyang bangsa Indonesia membuat makam leluhurnya sekaligus tempat pemujaan berupa bangunan piramida bersusun, semakin ke atas semakin kecil. Salah satunya yang ditemukan di Lebak Sibedug Leuwiliang Bogor Jawa Barat. Bangunan serupa juga terdapat di Candi Sukuh di dekat Solo, juga Candi Borobudur. Kalau dilihat dari kejauhan, Borobudur akan tampak seperti susunan bangunan berundak atau semacam piramida dan sebuah stupa. Piramida Borobudur berupa punden berundak yang tidak akan ditemukan di daerah dan negara manapun, termasuk di India. Hal tersebut merupakan salah satu kelebihan Candi Borobudur yang merupakan kekhasan arsitektur Budhis di Indonesia.
Nilai Historis Candi Borobudur
Nilai historis Candi Borobudur terletak pada keindahan bentuk bangunan atau arsitektur candi yang tersusun dari batu andesit yang disusun begitu saja tanpa dilekatkan. Bentuk arsitektur Candi Borobudur merupakan perpaduan antara arsitektur asli Indonesia asli yang ditandai dengan empat tingkat punden berundak dengan arsitektur India pada bentuk stupa di puncak candi.
Selain itu, nilai historis Candi Borobudur juga terletak pada relief-reliefnya. Pada relief Candi Borobudur, tergambar suatu kisah yang sangat terkenal, yaitu kisah Ramayana. Selain itu, digambarkan pula kondisi masyarakat saat itu, misal relief petani yang mencerminkan kemajuan sistem pertanian saat itu dan relief kapal layar yang mencerminkan kemajuan pelayaran yang saat itu berpusat di Bergota, Semarang. Dan pada intinya, keseluruhan relief yang ada pada Candi Borobudur mencerminkan ajaran sang Budha.
Setiap tingkatan Candi yang melambangkan kehidupan manusia di dunia juga merupakan nilai historis dari Candi Borobudur tersebut, karena terdapat makna tersendiri di setiap tahap pembangunan tingkatan candi. Sesuai mahzab Budha Mahayana, setiap orang yang ingin mencapai tingkat sebagai Budha harus dapat melewati setiap tingkatan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Akram, Buyung. 2010. “ Budaya-Candi Borobudur,” dalam Cyber Kebudayaan. http://www.goart_bucabodr.co.id.
Anonim. 2008. “ Borobudur, Candi Budha Terbesar di Abad ke-9,” dalam Cyber Kebudayaan. http://www.benih.net.
. 2007. “ Sejarah Borobudur,” dalam Cyber Kebudayaan. http://www.borobudur-temple.co.cc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar