Sabtu, 03 Desember 2011

Post Industrial City

Post industrial City atau kota pasca industri adalah sebuah kota yang berkembang setelah adanya gerakan reformasi akibat revolusi industri dan muncul sekitar awal abad ke-20. Berikut ini adalah beberapa pengertian Post industrial City menurut beberapa ahli :
a.    A Post Industrial City can be define as a city with an employment profile focused on advanced sevices-that is, jobs in the professions, management, administration, and skilled technical sectors (Johnson et al, 2000:616)
Sebuah kota pasca industri dapat didefinisikan sebagai kota dengan profil tenaga kerja yang difokuskan pada kemajuan layanan-yaitu profesional kerja, amanjemen, administrasi, dan teknik ketrampilan di berbagai sektor (Johnson et al, 2000:616).
b.   The post industrial landscape reflects this shift from the secondary to a service based economy, whereby cities “deconcentrate” and spread to become complex systems of cities linked together by flows of people and information (Hall, 1997:316)
Lansekap pasca industri mencerminkan pergeseran dari sekunder ke pelayanan bebasis ekonomi, dimana kota-kota tidak memusat dan dan menyebar untuk menjadi kota-kota dengan sistem-sistem yang kompleks dihubungkan bersama dengan arus orang dan informasi (Hall, 1997:316).
Terdapat beberapa ciri khas dari kota pasca industri ini, yaitu :
1.  Kegiatan ekonomi mengalami perubahan atau transisi dari produksi kegiatan penyediaan barang dan berubah menjadi kegiatan penyedia layanan atau jasa.
2.   Pengetahuan menjadi kunci atau modal utama.
3.   Menciptakan ide-ide baru menjadi jalan untuk dapat mengembangkan ekonomi.
4. Melalui proses globalisasi dan otomatisasi, penggunaan tenaga kerja manual dapat diminimalisasi sedangkan penggunaan tenaga kerja profesional (misal: ilmuwan, kreatif-industri profesional, dan IT profesional) dapat dioptimalkan.
5.  Informasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang dikembangkan dan diimplementasikan.
Jadi, terdapat beberapa karakter dari masyarakat Post Industrial City, yaitu kegiatan penyediaan layanan lebih mendominasi dibandingkan kegiatan peneyediaan barang seperti industri dan manufaktur. Penurunan sektor manufaktur ini dapat menyebabkan de-industrialisasi. Perkembangan IPTEK menjadi point penting bagi sebuah inovasi baru untuk dapat mengembangkan kegiatan perekonomian, serta tingkat urbanisasi yang terjadi di daerah Post Industrial City cukup tinggi. Hal ini dikarenakan banyak penduduk yang ingin bekerja di pusat kota Post Industrial City, lalu mendirikan permukiman-permukiman baru di sekitar kota tersebut sebagai tempat tinggal guna mempermudah mobilitas. Sistem sosial yang ada bersifat sosialis, dimana semua aset dimiliki negara karena tujuan dari Post Industrial City ini adalah menciptakan kesan satu rasa sama rata.

Teori Lokasi Industri - Losch

August Losch, adalah seorang ekonom Jerman dan menulis sebuah buku berjudul The Economics of Location (1954). Teori Losch berprinsip pada persoalan dari sisi permintaan (pasar), berbeda dengan Weber yang melihat persoalan dari sisi penawaran (produksi). Losch mengatakan bahwa lokasi penjual sangat berpengaruh terhadap jumlah konsumen. Makin jauh dari tempat penjual, konsumen makin enggan membeli karena biaya transportasi untuk mendatangi tempat penjual semakin mahal. Sehingga, Losch menyarankan agar lokasi produksi berada di pasar atau di dekat pasar.
Dalam teorinya, Losch memperkenalkan potensi permintaan (demand) sebagai faktor penting dalam penentuan lokasi industri dan mengkritik pendahulunya yang selalu mengacu pada pada biaya produksi terkecil, padahal sebenarnya yang seharusnya dilakukan adalah memaksimakan keuntungan yang di dapat (profit-revenue maximation). Dengan berbagai asumsinya, Losch menjabarkan bagaimana terjadinya economic landscape, yang merupakan keseimbangan (equilibrium) antara supply dan demand.
Terdapat beberapa asumsi yang digunakan Losch, yaitu :
Setiap lokasi industri harus menjamin keuntungan maksimum bagi penjual maupun pembeli.
Terdapat cukup banyak usaha pertanian dengan penyebaran cukup merata, sehingga seluruh permintaan yang ada dapat dilayani.
  • Terdapat free entry dan tak ada petani yang memperoleh super normal profit sehingga tidak ada rangsangan bagi petani dari luar untuk masuk dan menjual barang yang sama di daerah tersebut.
  • Daerah penawaran adalah sedemikian sehingga memungkinkan petani yang ada untuk mencapai besar optimum.
  • Sikap konsumen yang indefferent terhadap penjual manapun dan menjadi satu-satunya pertimbangan untuk membeli adalah harga yang rendah.
Losch berpendapat bahwa akhirnya luas daerah pasar masing-masing petani penjual akan mengecil dan dalam keseimbangannya akan terbentuk segienam beraturan. Bentuk ini dipilih karena menggambarkan daerah penjualan terbesar yang masih dapat dikuasai setiap penjual dan berjarak minimum dari tempat lokasi kegiatan produksi yang bersangkutan. Keseimbangan yang dicapai dalam teori Losch, hanya dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran, oleh karenanya keseimbangan akan terganggu bila salah seorang penjual menaikkan harga jual. 
Jadi, kesimpulan dari Teori Losch adalah bahwa permintaan (demand) menjadi faktor utama dalam penentuan lokasi industri. Lokasi penjual sangat mempengaruhi minat konsumen untuk datang. Makin jauh dari pasar, konsumen menjadi enggan membeli karena tidak sebanding dengan biaya transportasi yang harus dibayarkan. Sehingga, untuk mengatasinya, menurut Losch sebaiknya lokasi produksi diletakkan dekat dengan pasar.

Teori Lokasi - Weber

Teori lokasi adalah sebuah ilmu yang menyelidiki tata ruang dari suatu kegiatan ekonomi. Terdapat beberap faktor yang harus dipertimbangkan sebelum menentukan lokasi, antara lain ketersediaan bahan baku, upah buruh, jaminan keamanan, fasilitas penunjang, daya serap pasar lokal, dan aksesibilitas dari tempat produksi ke wilayah pemasaran yang dituju (terutama aksesibilitas pemasaran ke luar negeri), stabilitas politik suatu negara, dan kebijakan daerah (peraturan daerah).
Menurut teori lokasi industri yang dikemukakan Alfred Weber (1909), pemilihan lokasi industri didasarkan atas prinsip minimalisasi biaya. Weber menyatakan bahwa lokasi setiap industri tergantung pada total biaya transportasi dan tenaga kerja di mana penjumlahan keduanya harus minimum. Tempat di mana total biaya transportasi dan tenaga kerja yang minimum adalah identik dengan tingkat keuntungan yang maksimum.
Dalam merumuskan modelnya, Weber berbasis pada beberapa asumsi utama:
  1. Bidang bahasan adalah suatu wilayah yang terisolasi, iklim yang homogen, konsumen terkonsentrasi pada beberapa pusat, dan kondisi pasar adalah persaingan sempurna.
  2. Beberapa sumber daya alam seperti air, pasir, dan batu-bata tersedia dimana-mana (ubiquitous) dalam jumlah yang memadai.
  3. Material lainnya seperti bahan bakar mineral dan tambang tersedia secara sporadis dan hanya terjangkau pada beberapa tempat terbatas.
  4. Tenaga kerja tidak ubiquitous (tidak tersebar secara merata) tetapi berkelompok pada beberapa lokasi dan dengan mobilitas yang terbatas.
Terdapat 3 faktor yang dapat mempengaruhi lokasi industri, yaitu biaya transportasi, upah tenaga kerja, dan kekuatan aglomerasi atau deaglomerasi. Dalam menjelaskan keterkaitan biaya transportasi dan bahan baku, Weber menggunakan konsep segitiga lokasi (locational triangle) untuk memperoleh lokasi optimum. Untuk menunjukkan apakah lokasi optimum tersebut lebih dekat ke lokasi bahan baku atau pasar, Weber merumuskan indeks material (IM), sedangkan biaya tenaga kerja sebagai salah satu faktor yang dapat mempengaruhi lokasi industri, dijelaskan Weber dengan menggunakan sebuah kurva tertutup (closed curve) berupa lingkaran yang dinamakan isodapan (isodapane).
Adapun rentang nilai IM yang dikelompokkan oleh Weber:
·  IM > 1,  berat bahan mentah > dari hasil produksi produk, sehingga lokasi industri dekat sumber bahan mentah (bahan baku)
·  IM < 1, berat bahan mentah < dari hasil produksi, sehingga lokasi industri dekat pasar
·  IM = 1, berarti berat bahan mentah = hasil produksi, sehingga lokasi industri dapat diletakkan dimana-mana

Selain itu, Weber juga mengelompokkan industri menjadi dua jenis, yaitu :
  • Industri weight losing. Adalah industri yang hasil produksinya < berat bahan baku, misal industri kertas. Industri ini memiliki indeks material (IM) > 1. Dengan IM > 1, maka biaya transportasi bahan baku menuju pabrik akan lebih mahal apabila dibandingkan dengan biaya transportasi produk jadi menuju pasar. Oleh karena itu, lokasi industri seharusnya diletakkan di dekat sumber bahan baku.
  • Industri weight gaining. Karena berat bahan baku < hasil produksi (IM < 1), maka lokasi industri akan lebih baik diletakkan di dekat pasar.
Weber juga menjelaskan mengenai adanya gelaja aglomerasi industri. Gejala aglomerasi merupakan pemusatan produksi di lokasi tertentu sehingga dapat membuat sebuah daerah baru khusus industri. Pemusatan produksi dapat terjadi dalam satu perusahaan atau dalam berbagai perusahaan yang mengusahakan berbagai produk. Terdapat beberapa sebab yang dapat memicu terjadinya aglomerasi :
1. Tenaga kerja tersedia banyak dan banyak yang memiliki kemampuan dan keahlian yang lebih baik dibanding di luar daerah tersebut.
2.  Suatu perusahaan menjadi daya tarik bagi perusahaan lain.
3. Berkembangnya suatu perusahaan dari kecil menjadi besar, sehingga menimbulkan perusahaan lain untuk menunjang perusahaan yang membesar tersebut.
4.  Perpindahan suatu kegiatan produksi dari satu tempat ke beberapa tempat lain.
5. Perusahaan lain mendekati sumber bahan untuk aktifitas produksi yang dihasilkan oleh perusahaan yang sudah ada untuk saling menunjang satu sama lain.
Aglomerasi yang terjadi dapat membawa dampak untuk menarik industri dari lokasi biaya angkutan minimum, karena membawa berbagai bentuk penghematan ekstern yang disebut aglomeration economies, sehingga perpindahan ini dapat mengakibatkan kenaikan biaya angkutan.
Jadi, kesimpulan dari Teori Weber adalah lokasi industri tergantung pada total biaya transportasi dan tenaga kerja di mana penjumlahan keduanya harus minimum. Dan terdapat 3 faktor yang dapat mempengaruhi lokasi industri, yaitu biaya transportasi, upah tenaga kerja, dan kekuatan aglomerasi atau deaglomerasi. Menurut Weber, total biaya transportasi dan tenaga kerja yang minimum adalah syarat untuk mencapai keuntungan maksimum, dan aglomerasi/pemusatan industri di suatu daerah tertentu juga dapat menghasilkan keuntungan maksimum karena dapat menekan biaya transportasi.

Zona Lahan dan Struktur Ruang Kota

Lahan merupakan bagian dari bentang alam (landscape) yang mencakup pengertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, tanah, hidrologi, dan keadaan vegetasi alami yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan (FAO, 1976). Seiring perkembangan kebutuhan dan aktivitas manusia, lahan yang ada jumlahnya semakin sedikit dan terbatas. Oleh karena itu diperlukan arahan agar penggunaan lahan dapat dimanfaatkan secara optimal sesuai kualitas, karakteristik, dan kemampuan atau daya dukung lahan agar dapat menampung segala aktivitas fisik di atasnya. Demi mencapai tujuan itu, diperlukan suatu alokasi pemanfaatan guna lahan.
Rencana tata ruang merupakan dasar pemanfaatan ruang atau lahan. Rencana tata ruang adalah produk rencana yang berisi rencana pengembangan struktur ruang dan rencana pola pemanfaatan ruang yang hendak dicapai pada akhir tahun perencanaan. Rencana tata ruang yang berkualitas merupakan prasyarat dalam penyelenggaraan penataan ruang. Namun, rencana tata ruang tersebut harus didukung dengan pengendalian pemanfaatan ruang yang tegas dan konsisten untuk menjamin agar pemanfaatan ruang atau lahan dapat tetap sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan.
Zona adalah kawasan atau area yang memiliki fungsi dan karakteristik lingkungan yang spesifik. Zonasi terhadap lahan adalah salah satu hal penting dalam kegiatan perencanaan wilayah. Bintarto (1989) menjelaskan bahwa perkembangan kota dapat dilihat dari aspek zona-zona yang berada di dalam wilayah perkotaan. Perkembangan kota terlihat dari penggunaan lahan yang membentuk zona-zona tertentu dalam ruang perkotaan. Zonasi ini muncul karena terdapat perbedaan nilai lahan akibat munculnya pembagian lahan (zoning) sesuai dengan kebutuhan dan fungsi lahan tersebut.  Penetapan pembagian zona terinci dalam rencana tata ruang. Contoh pembagian zona lahan, seperti lahan untuk kegiatan industri, lahan untuk perumahan, lahan untuk kegiatan perdagangan dan jasa, dan lahan untuk kegiatan pemerintahan. Dengan adanya zoning dan peraturan zonasi yang telah terinci dalam rencana tata ruang,  diharapkan kegiatan pembangunan dapat berjalan baik karena terdapat pemisahan guna lahan sehingga dapat tercapainya penggunaan lahan secara maksimal tanpa adanya gangguan dari penggunaan lahan lain yang ada di dekatnya. 
Struktur ruang merupakan suatu susunan pusat-pusat permukiman, sistem jaringan serta sistem prasarana maupun sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial-ekonomi yang secara hirarki berhubungan fungsional. Rencana struktur ruang wilayah kota merupakan kerangka sistem pusat-pusat pelayanan kegiatan kota yang berhierarki dan satu sama lain dihubungkan oleh sistem jaringan prasarana wilayah kota. Struktur ruang kota memiliki elemen-elemen pembentuk, yaitu
  1. Kumpulan dari pelayanan jasa termasuk di dalamnya perdagangan, pemerintahan, keuangan yang cenderung terdistribusi secara berkelompok dalam pusat pelayanan.
  2. Kumpulan dari industri sekunder (manufaktur) pergudangan dan perdagangan grosir yang cenderung untuk berkumpul pada suatu tempat.
  3. Lingkungan permukiman sebagai tempat tinggal dari manusia dan ruang terbuka hijau.
  4. Jaringan transportasi yang menghubungkan ketiga tempat di atas.
Terdapat 3 teori utama yang melandasi struktur ruang kota, yaitu :
1.  Teori Konsentris (Burgess, 1925) yang menyatakan bahwa Daerah Pusat Kota (DPK) atau Central Bussiness District (CBD) adalah pusat kota yang letaknya tepat di tengah kota dan berbentuk bundar yang merupakan pusat kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik, serta merupakan zona dengan derajat aksesibilitas tinggi dalam suatu kota.
2.  Teori Sektoral (Hoyt, 1939) menyatakan bahwa DPK atau CBD memiliki pengertian yang sama dengan yang diungkapkan oleh Teori Konsentris.
3. Teori Pusat Berganda (Harris dan Ullman, 1945) menyatakan bahwa DPK atau CBD adalah pusat kota yang letaknya relatif di tengah-tengah sel-sel lainnya dan berfungsi sebagai salah satu “growing points”. Zona ini menampung sebagian besar kegiatan kota, berupa pusat fasilitas transportasi dan di dalamnya terdapat distrik spesialisasi pelayanan, seperti “retailing” distrik khusus perbankan, teater dan lain-lain (Yunus, 2000:49).
Jadi, kesimpulan yang dapat diambil adalah pusat kota (CBD) merupakan pusat segala aktivitas kota dan merupakan lokasi strategis untuk berbagai aktivitas terutama dalam kegiatan perdagangan karena memiliki aksesibilitas yang tinggi. Dan semakin dekat dengan pusat kota (CBD) maka nilai lahan akan semakin tinggi. Terdapatnya perbedaan zona lahan dan struktur ruang kota dipengaruhi oleh lokasinya terhadap pusat kota atau pasar.





Sumber :  


Dasar-Dasar Teori Von Thunen


Johann Heinrich von Thunen adalah seorang ahli ekonomi pertanian dari Jerman. Von Thunen adalah orang pertama yang membuat model analitik dasar dari hubungan antara pasar, produksi, dan jarak. Pada tahun 1826, ia mengungkapkan sebuah teori yang tertuang dalam buku Der Isolirte Staatd dan teori ini terkenal dengan nama teori ekonomi lokasi modern.  Dalam bukunya itu, ia menjabarkan keterkaitan antara ekonomi keruangan (spatial economics) dengan teori sewa (theory of rent). Dalam menjelaskan teorinya, Von Thunen menggunakan contoh kasus tanah pertanian. Von Thunen menggambarkan bahwa perbedaan biaya transportasi komoditas pertanian dari tempat produksi ke pasar akan mempengaruhi jenis penggunaan tanah yang ada di suatu daerah.
Terdapat 7 asumsi yang dikemukakakan oleh Von Thunen mengenai tanah pertanian yang dikeluarkan sebelum era industrialisasi, yaitu :
1. Terdapat suatu daerah terpencil yang terdiri atas daerah perkotaan dengan daerah pedalamannya dan merupakan satu-satunya daerah pemasok kebutuhan pokok yang merupakan komoditi pertanian (isolated stated).
2. Daerah perkotaan tersebut merupakan daerah penjualan kelebihan produksi daerah pedalaman dan tidak menerima penjualan hasil pertanian dari daerah lain (single market).
3. Daerah pedalaman tidak menjual kelebihan produksinya ke daerah lain kecuali ke daerah perkotaan (single destination).
4. Daerah pedalaman merupakan daerah berciri sama dan cocok untuk tanaman dan peternakan dalam skala menengah.
5. Daerah pedalaman dihuni oleh petani yang berusaha untuk memperoleh keuntungan maksimum dan mampu untuk menyesuaiakan hasil tanaman dan peternakannya dengan permintaan yang terdapat di daerah perkotaan (maximum oriented).
6. Satu-satunya angkutan yang terdapat pada waktu itu adalah angkutan darat berupa gerobak yang dihela oleh kuda (one moda transportation).
7. Biaya angkutan ditanggung oleh petani dan besarnya sebanding dengan jarak yang ditempuh. Petani mengangkut semua hasil dalam bentuk segar (equidistant).
              Dari asumsi-asumsi diatas, memunculkan anggapan bahwa perlunya para petani untuk menyewa lahan di dekat pusat pasar atau pusat kota. Hal ini dimaksudkan untuk pencapaian keuntungan hasil pertanian yang maksimal terutama dalam hal biaya transportasi serta waktu tempuh menuju pasar. Namun, penyewaan lahan dekat pasar ini mengakibatkan nilai sewa lahan menjadi tinggi. Hal ini disebabkan oleh langkanya lahan yang ada karena telah banyak digunakan sebagai aktivitas perdagangan, jasa, dan industri. Sehingga, untuk mendapatkannya diperlukan harga sewa yang mahal. Ini sesuai dengan hukum ekonomi demand and supply yang menyatakan bahwa semakin tinggi demand, maka barang yang ditawarkan semakin banyak dan harga jualnyapun juga semakin mahal. Sebaliknya, semakin jauh dari pusat kota atau pasar maka nilai sewa lahannya menjadi lebih murah akibat ketersediaan sewa lahan yang masih cukup banyak. Pernyataan diatas adalah salah satu contoh masih relevannya teori Von Thunen dalam konteks perdagangan.
Dalam perkembangannya, teori Von Thunen menjadi kurang relevan lagi akibat munculnya teknologi. Contoh kekurang relevanan tersebut, yaitu :
1.   Kemajuan transportasi dapat menghemat waktu dan biaya.
2.  Terdapat beberapa daerah yang tidak hanya memiliki 1 market center saja, tetapi juga 2 market center.
3. Kondisi topografis setiap daerah berbeda-beda, sehingga hasil pertanian yang akan dihasilkan juga akan berbeda.
4. Negara industri mampu membentuk kelompok produksi sehingga tidak terpengaruh pada kota.
5.  Antara produksi dan konsumsi telah terbentuk usaha bersama menyangkut pemasarannya.
6. Petani yang berlokasi dekat pasar/kota memilki alternatif komoditas pertanian yang lebih bila dibandingkan dengan petani yang berlokasi jauh dari pusat kota/pasar.
 Jadi, kesimpulannya adalah nilai sewa terhadap suatu lahan berbeda-beda tergantung dari nilai guna lahannya. Semakin dekat dengan pusat pasar/kota harga sewanya semakin tinggi, hal ini dikarenakan oleh kelangkaan lahan yang terjadi bila dibandingkan dengan permintaan akan lahan karena semakin dekat dengan pusat pasar/kota berbagai aktivitas dapat berkembang pesat akibat letaknya yang strategis serta kemudahan akses. Selain itu, infrastruktur yang tersediapun juga lebih baik dan memadai. Namun, bagi mereka yang memiliki kurang cukup modal untuk menyewa lahan yang dekat dengan pusat pasar/kota dengan munculnya alat-alat transportasi, biaya dan waktu untuk menuju pasar/kota juga dapat diminimalkan.

Sabtu, 19 November 2011

Perkembangan Jalan Pemuda Semarang


            Jalan Pemuda adalah salah satu jalan utama di Kota Semarang. Jalan ini membujur dari Titik Nol Kilometer yang berbatasan dengan Jembatan Berok sampai ke Tugu Muda. Titik Nol Kilometer berada di depan Gedung Papak (Gedung Keuangan Negara) karena pada saat itu Pemerintah Hindia Belanda masih mengacu pada tradisi di Eropa yang menggunakan Kantor Pos sebagai titik sentrum. Selain itu, Jembatan Berok juga merupakan pintu masuk benteng (kota lama).
Jembatan Berok






  Jalan ini menjadi pusat pemerintahan Kota Semarang karena banyak berdiri gedung-gedung pemerintah Kota Semarang di sepanjang jalan ini, seperti Kantor Walikota Semarang, Kantor Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah, Kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah, dan Kantor DPRD Kota Semarang. Selain itu, berdiri pula sekolah terkenal di Kota Semarang di jalan ini, seperti SMA Negeri 3 Semarang, SMA Negeri 5 Semarang, dan SD Marsudirini dan beberapa pusat perbelanjaan modern seperti Paragon, DP Mall, dan Sri Ratu Pemuda serta tempat wisata, yaitu Lawang Sewu.
         Pada zaman Belanda, Jalan Pemuda bernama Jalan Bodjong (berarti Pemuda dalam bahasa Belanda). Sejak zaman Belanda jalan ini telah dijadikan sentra bisnis dan pemerintahan. Hingga kini, Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) Jalan Pemuda juga masih mengacu pada garis yang telah ditetapkan Pemerintah Belanda. Pemerintah Belanda memilih jalan ini sebagai sentra bisnis karena terletak pada jalur di antara pusat bisnis (pelabuhan, Kota Lama, Pekojan, dan Pecinan), perkantoran pemerintahan (bundaran Unaki hingga Tugu Muda), dan pusat permukiman (Semarang atas). Bodjong dipilih sebagai daerah perbelanjaan eceran yang pertama di Semarang. Perbelanjaan eceran itu juga dilengkapi dengan Pasar Johar sebagai pasar rakyat yang melayani pemukim-pemukim yang mengelilingi berbagai sentra bisnis itu. Perkembangan daerah ini terus berlanjut hingga pasca-kemerdekaan dan beberapa di antaranya masih ada yang tetap berdiri tegak hingga saat ini.
Jalan Bodjong

         Jika dilihat dari morfologinya, banyak bangunan di sepanjang jalan ini yang masih mempertahankan bentuk aslinya yaitu bercorak arsitektur Belanda. Gedung-gedung yang ada disangga oleh pilar-pilar tinggi, atap bangunan tinggi, pintu utama tinggi dengan lubang ventilasi di atasnya, serta jendela-jendela berukuran besar dengan jumlah yang cukup banyak seperti yang tampak pada Kantor Walikota Semarang, Gedung depan SMAN 3 Semarang, Lawang Sewu, Kantor Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah, dan Gedung Juang 45. Terjadinya perubahan bentuk ruang kota di jalan ini disebabkan oleh semakin berkembangnya aktivitas dan kebutuhan penduduk di Kota Semarang. Terdapat suatu proses urbanisasi di jalan ini yang berfungsi sebagai pembentuk dan pengembang kawasan jika dilihat dari aspek sosial, ekonomi, serta perubahan fisik bangunan. Walaupun telah banyak berdiri bangunan-bangunan bercorak modern di jalan ini, namun bangunan asli masih tetap dipertahankan sebagai simbol sejarah pembentukan jalan ini. Selain itu, dapat pula dijadikan sebagai cagar budaya dan sarana pendidikan tentang Kota Semarang.



Sumber :

Selasa, 08 November 2011

Suburban dan Urban Sprawl


Prof. Bintarto (1984), mendefinisikan Kota sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai oleh strata sosial ekonomi yang heterogen serta memiliki corak materialistis. Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 4/1980, Kota adalah wadah yang memiliki batasan administratif wilayah seperti kotamadya dan kota administrasi. Perkembangan teknologi telah merubah masyarakat pinggiran kota atau sub-urban menjadikan wilayah pinggiran kota berubah menjadi pusat-pusat aktivitas penduduk baru dan memunculkan kawasan-kawasan komersial. Pertambahan penduduk dalam suatu wilayah perkotaan selalu diikuti dengan peningkatan kebutuhan ruang. Hal ini bisa dilihat dari berbagai aspek kependudukan yang ada, seperti aspek politik, sosial, dan ekonomi yang berdampak pada perubahan pola ruang dan pemanfaatan guna lahan perkotaan. Kuantitas dan kualitas kegiatan selalu meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk perkotaan sehingga kebutuhan ruang sebagai wadah kegiatan juga akan mengalami peningkatan. Ruang perkotaan yang sifatnya terbatas menyebabkan terjadinya perluasan daerah ke pinggiran-pinggiran kota.
Pada dasarnya daerah sub-urban merupakan daerah pinggiran kota yang terekspansi akibat pemekaran kota. Fenomena ini disebabkan karena kemunculan jaringan-jaringan jalan baru sehingga mempermudah adanya perluasan lahan. Jika dilihat sebagai suatu bentuk komunitas, sub-urban merupakan komunitas yang memiliki sifat urban yang berada di tengah-tengah rural (Kuswitoyo, 2000). Wilayah suburban menurut karakteristiknya sebenarnya adalah pencampuran antara desa dengan kota. Beberapa daerah akan memperlihatkan bentuk kota dan yang lain akan lebih dekat dengan ciri-ciri pedesaan. Daerah-daerah sub-urban masih sangat tergantung pada kota induk. Daldjoeni (1992) mengutip Whynne-Hammond, menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan sub-urban:
1.   Peningkatan pelayanan transportasi kota. Tersedianya angkutan umum memudahkan orang untuk bertempat tinggal jauh dari tempat kerjanya.
2.    Perpindahan penduduk dari pusat kota ke pinggiran kota dan masuknya penduduk baru yang berasal dari perdesaan.
3.  Meningkatnya taraf hidup masyarakat yang memungkinkan orang mendapatkan perumahan yang lebih layak.
4.  Munculnya permukiman penduduk. Pemerintah membantu masyarakat yang akan mendirikan rumah lewat pinjaman bank.
5.    Dorongan hakikat manusia memperoleh kenyamanan.
Masyarakat sub-urban dapat menjadi penyangga (buffer) bagi kehidupan kota jika warganya memiliki kemampuan kontributif dalam kehidupan kota induk, sebaliknya masyarakat sub-urban hanya akan menjadi beban bagi kehidupan bagi kota induk apabila masyarakatnya tidak memiliki ketempilan atau kemampuan untuk berkontribusi bagi kehidupan kota induk. Permasalahan yang sering timbul di daerah sub-urban adalah terjadinya perubahan sektor pertanian yang dapat menimbulkan masalah lingkungan secara fisik (misal: perubahan dari sawah menjadi kawasan perumahan), masalah transportasi (misal: bertempat tinggal di pinggiran, namun bekerja di pusat kota sehingga menyebabkan lalu lintas menjadi padat). Contoh daerahnya sub-urban adalah Mranggen dan Sayung-Demak.
Wilayah sub-urban dapat pula dijadikan sebagai tempat tinggal bagi para penglaju (commuter) yang bekerja di pusat kota. Bagi mereka, kawasan pinggiran dapat dijadikan sebagai sebuah kawasan yang nyaman untuk dijadikan sebagai tempat tinggal karena letaknya yang jauh dari pusat kota, jauh dari polusi dan kebisingan akibat aktivitas pusat kota. Di luar wilayah sub-urban terdapat suatu daerah yang dapat disebut sebagai Sub-urban Fringe. Sub urban Fringe adalah area wilayah yang mengelilingi daerah sub-urban yang menjadi daerah peralihan kota ke desa.
Terdapat fenomena terkait tentang daerah Sub-urban, yaitu Urban Sprawl. Urban Sprawl adalah suatu proses perembetan kenampakan fisik perkotaan ke wilayah sub-urban yang tidak terencana dengan daik dan tidak teratur. Jika dilihat melalui pencitraan dengan foto udara maka tampak sebagai polygon berwarna “pemukiman” yang tersebar tidak teratur dan berada di pinggiran kota. Fenomena urban sprawl ditandai dengan pembangunan di kawasan berkepadatan penduduk rendah, tata guna lahan homogen di suatu wilayah, sedangkan untuk peruntukan lahan lain penggunaannya berbeda dan untuk menjangkaunya harus menggunakan kendaraan. Penyebab terjadinya urban sprawl terutama akibat wilayah perkotaan yang tidak mampu lagi menampung berbagai kegiatan masyarakat akibat pertumbuhan penduduk dan aktivitas perekonomian yang berlangsung pesat, sedangkan untuk lahan yang tersedia jumlahnya terbatas. Pertumbuhan ekonomi dengan pembangunan di berbagai sektor juga menyebabkan peningkatan harga tanah di perkotaan sehingga terjadi pergeseran pemukiman ke areal pinggiran kota sedangkan di dalam kota digunakan untuk pembangunan pusat-pusat kegiatan seperti gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, dan aktivitas perdagangan-jasa lainnya. Terjadinya urban sprawl ini dapat menyebabkan dampak negatif bagi lingkungan baik pada kawasan pinggiran kota tersebut maupun pada masyarakat yang tinggal di perkotaan.
Jadi, ciri-ciri dari urban sprawl adalah,
1.      Pembangunan di kawasan berkepadatan penduduk rendah
2.    Tata guna lahannya homogen dan cenderung terpisah-pisah. Untuk menjangkau tempat lainnya butuh alat transportasi
3. Extensive road construction, diorientasikan untuk pemakaian kendaraan pribadi, bukan transportasi publik.
4.  Public space lebih diperuntukkan bagi konsumsi pribadi. Mekanisme terjadinya urban spawl adalah tingkat kebutuhan lahan yang semakin tinggi namun semakin sulit dan semakin mahal dikota, maka mereka cenderung memilih membangun pemukiman-pemukiman baru diwilayah sub urban. Demikian juga perluasan pabrik-pabrik untuk industri memilih berlokasi di wilayah sub-urban.
Fenomena Urban Sprawl dapat memberi dampak pada lingkungan yaitu pembangunan di wilayah sub urban yang tidak terancang secara makro. Akibatnya, akan timbul masalah-masalah terkait guna lahan, misalnya beralihfungsinya lahan pertanian menjadi kawasan permukiman, terpecah pecahnya lahan pertanian subur yang luas menjadi lahan yang kecil-kecil dengan irigasi yang menjadi sulit, akibatnya proses pemuliaan lahan menjadi terkendala dan pada gilirannya petani menjadi tidak punya untung. Akibat lainnya adalah terjadinya disintegrasi fungsi kota yang menghancurkan koherensi dari sistem perkotaan yang ada dan semakin tidak efisiennya sistem urban di kota-kota. Pembangunan di perkotaan yang merupakan salah satu penyebab urban sprawl dengan pendirian berbagai  pusat-pusat kegiatan seperti perbankan, gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, dan pusat komersial lainnya menjadi semakin meningkat. Hal ini akan berpengaruh pada harga tanah dimana akan membumbung tinggi dan hanya pengusaha yang mampu membayar harga tanah secara lebih tinggi daripada masyarakat untuk rumah pemukiman.
Urban sprawl membuat struktuk peletakan perumahan tidak teratur dan untuk memenuhi semua kebutuhan warganya, para penyedia infrastruktur harus menyesuaikan dengan keadaan struktur peletakan pemukimannya karena tanpa itu banyak yang tidak terlayani. Dampak lainnya adalah terganggunya keseimbangan lingkungan. Dengan berkurangnya RTH di kawasan pinggiran, maka kawasan perkotaan akan menjadi semakin sesak terutama jika dilihat dari pertumbuhan kendaraan bermotor dan industri yang secara langsung sering mencemari lingkungan. Selain itu, kawasan pinggiran juga berfungsi sebagai kawasan lindung untuk melindungi kawasan di bawahnya seperti sebagai kawasan resapan air dimana dapat bermanfaat bagi penyediaan air tanah maupun melindungi kawasan di bawahnya dari erosi dan juga banjir.
Walaupun Urban Sprawl menjadi salah satu implikasi dari pertumbuhan ekonomi dan pembangunan wilayah, namun urban sprawl dapat memberi dampak negatif bagi lingkungan, dengan semakin berkurangnya RTH yang digunakan sebagai kawasan resapan air bagi kota. Selain itu, akibat lain dari urban sprawl adalah munculnya ketidakefisienan dalam penyediaan fasilitas, sarana, dan prasarana kota. Hal ini merupakan suatu masalah yang serius dan harus segera diatasi. Untuk mengurangi dampak negatif tersebut, perlu adanya suatu upaya baik upaya pencegahan maupun pengurangan dampak. Dibutuhkan kejasama yang baik antara pemerintah, swasta, juga masyarakat untuk mencapai tujuan dan hasil maksimal.








Sumber :

Pengembangan Kota Demak Dilihat dari Segi Sosial

Kota Demak adalah sebuah kota yang terletak di pesisir utara Pulau Jawa. Letaknya yang strategis karena berada pada jalur penghubung antara Jawa Tengah dan Jawa Timur dan juga menjadi jalur pertumbuhan di Jawa Tengah memberi kontribusi terhadap perubahan kondisi sosial mayarakatnya. Perubahan kondisi sosial ini disebabkan oleh kemajuan yang pesat bidang teknologi memicu masyarakat untuk meningkatkan pendapatannya dengan berbagai cara dengan melibatkan keseluruhan aspek kehidupan di lingkungannya. Menurut Suharti (2000), masyarakat kawasan pesisir cenderung agresif karena kondisi lingkungan pesisir yang panas dan terbuka, keluarga nelayan mudah diprovokasi, dan salah satu kebiasaan yang jamak di kalangan nelayan (masyarakat pesisir) adalah karena kemudahan mendapatkan uang menjadikan hidup mereka lebih konsumtif. Selain itu, Zamroni (1992) menyatakan bahwa perilaku sosial merupakan hubungan antara tingkah laku masyarakat dengan tingkah laku lingkungan.  Purba (2002) menyatakan berbagai persoalan sosial dalam pengelolaan lingkungan sosial, antara lain berkembangnya konflik atau friksi sosial, ketidakmerataan akses sosial ekonomi, meningkatnya jumlah pengangguran, meningkatnya angka kemiskinan, meningkatnya kesenjangan sosial ekonomi, kesenjangan akses pengelolaan sumberdaya, meningkatnya gaya hidup (konsumtif), kurangnya perlindungan pada hak masyarakat lokal atau tradisional dan modal sosial, perubahan nilai, memudarnya masyarakat adat, lemahnya kontrol sosial, perubahan dinamika penduduk, masalah kesehatan dan kerusakan lingkungan.
Terdapat beberapa permasalahan sosial di Kota Demak yang hendaknya dapat menjadi perhatian karena cukup mengganggu pengembangan Kota Demak, yaitu masalah kesejahteraan masyarakat yang masih rendah akibat kualitas dan anggapan penduduk akan pentingnya pendidikan yang masih kurang, pelayanan kesehatan masyarakat yang masih kurang dan kurang pedulinya penduduk terhadap kesehatan, serta angka kemiskinan di Kota Demak yang masih cukup tinggi. Dan di antara masalah-masalah tersebut, akibat rendahnya pendapatan masyarakatlah yang dominan untuk menjadi faktor penyebabnya.
Dalam peningkatan kualitas pendidikan diperlukan peningkatan terhadap manajemen pengelolaannya, mengingat yang menjadi faktor penghambat adalah akibat rendahnya pendapatan penduduk untuk mencapainya. Pendidikan hendaknya dapat diadakan dan difasilitasi mulai dari pendidikan dasar hingga menengah, dimudahkan akesesnya ke seluruh masyarakat terutama untuk masyarakat miskin untuk memperoleh pendidikan. Peningkatan kualitas pendidikan tidak hanya dapat dilakukan melalui jalur pendidikan formal, namun juga pendidikan non-formal dalam upaya peningkatan keterampilan masyarakat dan menciptakan suatu komunitas yang siap pakai dan siap kerja.
Untuk pelayanan kesehatan, dapat dilakukan melalui upaya peningkatan kualitas dan akses pelayanan kesehatan, adanya jaminan kesehatan bagi penduduk miskin, dan meningkatkan ketersediaan sumberdaya kesehatan, baik tenaga kerja maupun sarananya, seperti menambah jumlah puskesmas, posyandu bagi balita, dan apotek.
Dalam upaya pengentasan dan penurunan angka kemiskinan, diperlukan strategi khusus dalam menanganinya dengan memadukan peran seluruh stakeholder baik pemerintah daerah, masyarakat maupun dunia usaha untuk dapat menurunkan angka kemiskinan secara nyata. Penurunan angka kemiskinan dapat diupayakan melalui peningkatan kualitas pendidikan dan keterampilan kerja masyarakat. Selain itu, diperlukan peran pemerintah dalam upaya penciptaan lapangan kerja terutama lapangan kerja yang banyak menyerap tenaga kerja. Diperlukan pula adanya teknologi, pengetahuan, dan manajemen untuk pengelolaan sumber daya lain yang selama ini mungkin belum diketahui oleh masyarakat, pemerintah, dan stakeholder terkait karena selama ini Demak lebih menumpukan kegiatan penduduk pada sektor pertanian. Dengan ini, diharapkan angka kemiskinan dapat ditekan dan peningkatan angka pendapatan dapat tercapai.
Jadi, kesimpulannya terdapat beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mengembangkan Kota Demak jika dilihat dari segi sosialnya, yaitu dengan meningkatkan kualitas pendidikan, kesehatan, dan menurunan angka kemiskinan masyarakat yang dapat dilakukan dengan peningkatan kualitas dan kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan dan kesehatan, serta untuk kemiskinan dapat diatasi dengan pembukaan lapangan kerja baru. Perlunya peningkatan manajemen pengelolaan sumber daya lain juga perlu dilakukan dalam upaya peningkatan pendapatan masyarakat Kota Demak.





Sumber :  

Candi Borobudur


Sejarah Candi Borobudur     

Candi Borobudur dibuat pada masa Wangsa Syailendra yang Buddhis di bawah kepemimpinan Raja Samaratungga. Pembangunan candi ini dilakukan untuk mengagungkan agama Budha Mahayana. Arsitektur yang menciptakan candi, berdasarkan tuturan masyarakat bernama Gunadharma. Pembangunan candi itu selesai pada tahun 847 M. Menurut prasasti Klurak (784M) pembuatan candi ini dibantu oleh seorang guru dari Ghandadwipa (Bengalore) bernama Kumaragacya yang sangat dihormati, dan seorang pangeran dari Kashmir bernama Visvawarman sebagai penasihat yang ahli dalam ajaran Buddis Tantra Vajrayana. Pembangunan candi ini dimulai pada masa Maha Raja Dananjaya yang bergelar Sri Sanggramadananjaya, dilanjutkan oleh putranya, Samarotthungga, dan oleh cucu perempuannya, Dyah Ayu Pramodhawardhani.
Candi Borobudur yang telah lama digunakan sebagai pusat ziarah, Setelah berakhirnya kerajaan Mataram tahun 930 M, lama-lama mulai terbengkalai. Kira-kira pada abad ke-10 Candi Borobudur mulai terlupakan. Baru pada tahun 1814 M, Sir Thomas Stamford Raffles, Letnan Gubernur Jendral Inggris menemukan kembali Candi Borobudur tersebut. Ia mendapat berita tentang adanya bukit yang dipenuhi batu-batu berukir. Lalu, Raffles mengutus Cornellius, seorang pengagum seni dan sejarah untuk membersihkan bukit tersebut. Setelah dibersihkan selama 2 bulan, candi terlihat kembali jelas. Dan pada tahun 1834, usaha pembersihan dilakukan kembali oleh Residen Kedu, Hatmann. Permbersihan tersebut dilakukan oleh presiden kedua yang bernama Hartman yang begitu tertariknya dengan Candi Bororbudur, dan ia melakukan usaha pembersihan lebih lanjut. Puing-puing yang masih menutupi candi dibersihkan dan tanah yang menutupi lorong-lorong candi dibersihkan,sehingga candi kembali terlihat indah.
Sebelum dipugar, Candi Borobudur hanya berupa reruntuhan seperti halnya artefak-artefak candi yang baru ditemukan. Kemudian dilakukan usaha-usaha kecil serta pembuatan gamabar-gambar dan foto-foto direliefnya sebagai uasaha perbaikan. Pemugaran selanjutnya oleh Cornelius pada masa Raffles maupun Residen Hatmann, setelah itu periode selanjutnya dilakukan pada 1907-1911 M oleh Theodorus van Erp yang membangun kembali susunan bentuk candi dari reruntuhan karena dimakan zaman sampai kepada bentuk sekarang. Pemugaran candi tersebut dilakukan adalah untuk menghindari kerusakan – kerusakan yang lebih besar lagi dari bangunan Candi Borobudur. Banyak bagian tembok atau dinding – dinding terutama tingkat tiga dari bawah sebelah Barat Laut, Utara dan Timur Laut yang masih tampak miring dan sangat mengkhawatirkan bagi para pengunjung maupun bangunan candi itu sendiri, sehingga diperlukan usaha pemugaran candi.
Banyak ahli purbakala yang menafsirkan mengenai arti kata Borobudur. Diantaranya, Prof. Dr. Poerbotjoroko menerangkan bahwa kata Borobudur berasal dari dua kata Bhoro dan Budur. Bhoro berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti bihara atau asrama atau vihara, sedangkan kata Budur merujuk pada kata yang berasal dari Bali Beduhur yang berarti di atas. Pendapat ini dikuatkan oleh Prof. Dr. WF. Stutterheim yang berpendapat bahwa Borobudur berarti Bihara (Vihara) di atas sebuah bukit.
Prof. JG. De Casparis mendasarkan pada Prasasti Karang Tengah yang menyebutkan tahun pendirian bangunan ini, yaitu Tahun Sangkala: rasa sagara kstidhara, atau tahun Saka 746 (824 Masehi), atau pada masa Wangsa Syailendra yang mengagungkan Dewa Indra. Dalam prasasti terdapat nama Bhumisambharabhudhara yang berarti tempat pemujaan nenek moyang bagi arwah-arwah leluhurnya. Pergeseran kata Bhumisambharabhudhara menjadi nama Borobudur disebabkan faktor pengucapan masyarakat setempat.
Candi Borobudur merupakan candi terbesar kedua setelah Candi Angkor Wat di Kamboja. Luas bangunan Candi Borobudur sendiri sekitar 15.129 m2, tersusun atas 55.000 m3 batu, 2 juta potongan-potongan batu dengan ukuran rata-rata batu 25 cm x 10 cm x 15 cm. Panjang potongan batu secara keseluruhan sepanjang 500 km dengan berat batu keseluruhan 1,3 juta ton. Dinding-dinding Candi Borobudur dikelilingi oleh relief-relief yang merupakan satu rangkaian cerita yang tersusun dalam 1.460 panel. Panjang panel masing-masing 2 meter. Jika rangkaian relief itu dibentangkan maka kurang lebih panjang relief seluruhnya sekitar 3 km.
Candi Borobudur terdiri dari 10 tingkat. Tingkat 1-6 berbentuk nujur sangkar, dan tingkat 7-10 berbentuk bundar. Arca yang terdapat pada seluruh bangunan candi berjumlah 504 buah. Tinggi candi dari permukaan tanah hingga puncak stupa dulunya 42 meter, namun sekarang tinggal 34,5 meter akibat tersambar petir.
Menurut hasil penyelidikan seorang antropolog-etnolog Austria, Robert von Heine Geldern, nenek moyang bangsa Indonesia sudah mengenal tata budaya pada zaman Neolithic dan Megalithic yang berasal dari Vietnam Selatan dan Kamboja. Pada zaman Megalithic itu nenek moyang bangsa Indonesia membuat makam leluhurnya sekaligus tempat pemujaan berupa bangunan piramida bersusun, semakin ke atas semakin kecil. Salah satunya yang ditemukan di Lebak Sibedug Leuwiliang Bogor Jawa Barat. Bangunan serupa juga terdapat di Candi Sukuh di dekat Solo, juga Candi Borobudur. Kalau dilihat dari kejauhan, Borobudur akan tampak seperti susunan bangunan berundak atau semacam piramida dan sebuah stupa. Piramida Borobudur berupa punden berundak yang tidak akan ditemukan di daerah dan negara manapun, termasuk di India. Hal tersebut merupakan salah satu kelebihan Candi Borobudur yang merupakan kekhasan arsitektur Budhis di Indonesia.



Nilai Historis Candi Borobudur

Nilai historis Candi Borobudur terletak pada keindahan bentuk bangunan atau arsitektur candi yang tersusun dari batu andesit yang disusun begitu saja tanpa dilekatkan. Bentuk arsitektur Candi Borobudur merupakan perpaduan antara arsitektur asli Indonesia asli yang ditandai dengan empat tingkat punden berundak dengan arsitektur India pada bentuk stupa di puncak candi. 
Selain itu, nilai historis Candi Borobudur juga terletak pada relief-reliefnya. Pada relief Candi Borobudur, tergambar suatu kisah yang sangat terkenal, yaitu kisah Ramayana. Selain itu, digambarkan pula kondisi masyarakat saat itu, misal relief petani yang mencerminkan kemajuan sistem pertanian saat itu dan relief kapal layar yang mencerminkan kemajuan pelayaran yang saat itu berpusat di Bergota, Semarang. Dan pada intinya, keseluruhan relief yang ada pada Candi Borobudur mencerminkan ajaran sang Budha.
Setiap tingkatan Candi yang melambangkan kehidupan manusia di dunia juga merupakan nilai historis dari Candi Borobudur tersebut, karena terdapat makna tersendiri di setiap tahap pembangunan tingkatan candi. Sesuai mahzab Budha Mahayana, setiap orang yang ingin mencapai tingkat sebagai Budha harus dapat melewati setiap tingkatan tersebut.










DAFTAR PUSTAKA

Akram, Buyung. 2010. “ Budaya-Candi Borobudur,” dalam Cyber Kebudayaan. http://www.goart_bucabodr.co.id.
Anonim. 2008. “ Borobudur, Candi Budha Terbesar di Abad ke-9,” dalam Cyber Kebudayaan. http://www.benih.net.
             . 2007. “ Sejarah Borobudur,” dalam Cyber Kebudayaan. http://www.borobudur-temple.co.cc.