Permasalahan umum dan biasa dialami oleh kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, dan Medan adalah masalah pertumbuhan penduduk yang cepat sehingga mengakibatkan terjadinya kepadatan penduduk. Perubahan secara drastis morfologi kota-kota besar di Indonesia banyak terjadi pada akhir abad ke-20. Perubahan ini banyak diakibatkan oleh adanya relokasi industri dari negara maju yang banyak menempati daerah pinggiran kota-kota besar, serta sarana dan prasarana kota modern yang harus disediakan di tengah kota. Masalah-masalah tersebut ditambah lagi dengan makin banyaknya urbanisasi ke kota-kota besar sehingga menimbulkan pemekaran daerah baru di pinggiran kota yang dikelola oleh perusahaan real estate. Sarana dan prasarana kota lama juga sudah tidak dapat menampung lagi pertambahan penduduk dan kemajuan jaman.
Kota Semarang merupakan ibukota Provinsi Jawa Tengah. Sebagai salah satu kota besar di Indonesia dan sedang berkembang menuju ke arah kemajuan di segala bidang, Kota Semarang memiliki beberapa permasalahan yang harus diatasi dengan segera agar dapat lebih menjamin keberlangsungan hidup penduduknya. Diantara permasalahan tersebut, yang secara umum juga dialami oleh kota-kota besar lainnya di Indonesia adalah masalah pertumbuhan penduduk yang tinggi dalam waktu singkat.
Sebagai ibukota provinsi, Kota Semarang dituntut untuk dapat memenuhi dan menjamin kebutuhan penduduknya. Selain itu, sarana dan prasarana serta pelayanan yang tersedia juga harus lebih ditingkatkan. Hal ini mendorong terjadinya urbanisasi penduduk daerah di sekitar Kota Semarang untuk berpindah terutama ke pusat kota. Urbanisasi tersebut dipacu oleh beberapa faktor, seperti kebutuhan akan transportasi, kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan. Urbanisasi sendiri dapat menimbulkan beberapa permasalahan yang dapat menjadi permasalahan khusus atau internal bagi Kota Semarang, seperti masalah banjir, kemacetan, pengangguran, kemiskinan, dan kriminalitas.
Dampak Pertumbuhan Penduduk Akibat Urbanisasi di Kota Semarang
a. Masalah banjir dan rob
Permasalahan Kota Semarang yang sedang menjadi sorotan utama saat ini adalah masalah banjir dan rob yang bertambah parah. Banjir dan rob tersebut tidak terlepas dari akibat pertumbuhan penduduk Kota Semarang yang terus terjadi belakangan ini. Selain itu, disebabkan pula oleh kurang diperhatikannya aspek-aspek lingkungan. Seringkali dijumpai pembangunan gedung dan prasarana yang mengorbankan lingkungan alami, seperti pembangunan Kota Tropis Bebas Banjir yang dibangun di kawasan perbukitan. Pemotongan atau pengeprasan bukit secara besar-besaran untuk pemukiman dapat mengakibatkan banjir dan tanah longsor. Berdasarkan Advice Perhutani, wilayah perbukitan terutama yang berbatasan langsung dengan sungai tidak boleh digunakan sebagai areal pembangunan dalam radius 50 meter untuk menghindari bahaya banjir dan longsor. Pembangunan kawasan real estate atau pemukiman ini sebagai akibat dari keadaan penduduk di Kota Semarang yang menginginkan sebuah kebutuhan akan tempat tinggal yang nyaman dan tenang serta menyatu dengan alam, namun pada akhirnya akan menimbulkan kerugian jika pembangunannya tidak melihat keadaan tanah serta lingkungan sekitar. Padahal, pembangunan kawasan ini dapat dilakukan di kawasan dataran rendah di Kota Semarang. Kecenderungan perubahan penggunaan lahan yang tidak terkendali juga dicatat dari hasil penelitian. ”Meluasnya lahan pemukiman mencapai 40 persen dari luas kota dengan intensitas 231,9 hektar per tahun. Jumlah rumah meningkat 62.466 dalam jangka waktu 14 tahun atau 4.462 unit per tahun. Sedangkan sawah berkurang 2.239 hektar per tahun, rawa dan empang berkurang 4.335 hektar per tahun, tegal dan kebun berkurang 339 hektar per tahun. Perubahan ini banyak membawa dampak baik fisik maupun sosial.” (Hariyanto, 2004)
“Sedangkan penyebab banjir dan rob secara universal di Kota Semarang terbagi empat. Pertama, merebaknya pembangunan di kawasan pelabuhan dan kawasan wilayah kota bawah. Pembangunan ini menyebabkan terjadinya penurunan lahan setiap tahunnya, yang berkisar 5 - 15 cm. Kedua, pengambilan air tanah yang berlebihan sehingga menyebabkan intrusi air laut di dalam tanah. Ketiga, struktur tanah di daerah pantai dan kawasan Semarang bawah merupakan tanah aluvial dengan kadar lempung dan tanah lano yang cukup besar dengan kedalaman 40 - 100 meter. Sehingga, tanah ini terus melakukan konsolidasi (pemadatan) dan Pemadatan ini baru akan berhenti pada kedalaman 4 - 6 meter. Keempat, terjadinya pengerukan di daerah pelabuhan.” ( Robert, 2007).
Untuk daerah Semarang atas sendiri, daerah-daerah resapan air telah berubah menjadi bangunan, jadi tak heran jika Kota Semarang sering dilanda banjir baik di kawasan atas maupun bawah terutama saat musim penghujan tiba.
b. Masalah kemacetan
Masalah lain bagi Kota Semarang sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk yang terlampau cepat adalah kemacetan. Kemacetan sering terjadi pada waktu-waktu tertentu yaitu pada jam berangkat (pukul 07.00-08.00) dan pulang (pukul 16.00-18.00) kerja. Kemacetan ini sering terjadi di pusat kota Semarang, yaitu kawasan Simpang Lima dan Tugu Muda serta pada ruas jalan-jalan tertentu, seperti Jalan Kaligawe, Jalan Setiabudi, dan Jalan Jendral Sudirman daerah Krapyak. Sekarang ini kemacetan juga sering terjadi pada pukul 12 siang utamanya di Jalan Kaligawe dan bundaran Kalibanteng ke barat sampai Mangkang. Kemacetan di Kota Semarang disebabkan oleh bertambahnya kendaraan yang beroperasi di jalan-jalan besar di Kota Semarang yang rata-rata bertambah 1500-2000 unit setiap bulannya.
c. Masalah pengangguran dan kemiskinan
Selain masalah-masalah di atas, muncul pula masalah kependudukan, yaitu pengangguran dan kemiskinan. Kedua hal ini saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan pengangguran, seperti akibat dari urbanisasi penduduk sekitar Semarang dan rendahnya pendidikan penduduk Semarang. Tidak semua penduduk yang berurbanisasi ke Kota Semarang memiliki keterampilan kerja dan pendidikan yang cukup. Harapan hidup yang tinggi, kesempatan kerja dan pendidikan, fasilitas lebih, dan kebebasan hidup merupakan faktor-faktor yang mendorong penduduk sekitar Semarang untuk berurbanisasi ke kota. Banyak diantara mereka yang mencoba untuk mengadu nasib di kota dengan kemampuan seadanya yang mereka miliki namun bagi mereka yang kurang beruntung atau tidak mendapat perkerjaan, hanya akan menjadi beban hidup bagi Kota Semarang. Rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang dihasilkan adalah bukti dari rendahnya tingkat pendidikan di Kota Semarang. Hal ini mengakibatkan ketidaksesuaian antara tenaga kerja yang dibutuhkan dengan tingkat pendidikan atau keterampilan kerja yang dibutuhkan. Sehingga tidak jarang banyak ditemui pengamen atau pengemis jalanan di jalan-jalan besar di Kota Semarang. Selain itu, pengangguran juga disebabkan oleh permintaan kerja yang masih sedikit dibandingkan dengan tenaga kerja yang tersedia. Hal ini disebabkan karena perusahaan-perusahaan atau kantor-kantor di Kota Semarang membutuhkan tenaga kerja yang siap pakai dan memiliki keterampilan yang memadai.
Pengangguran dapat menyebabkan timbulnya kemiskinan. Sebagai bukti adanya kemiskinan, banyak berdiri pemukiman-pemukiman kumuh di sekitar bantaran sungai, misalnya di Kali Banjir Kanal Timur dan sungai-sungai besar lain di Kota Semarang. Menurut data BPS Kota Semarang tahun 2008, angka kemiskinan di Kota Semarang cukup tinggi. Pada tahun 2005 jumlah penduduk miskin di Kota Semarang sekitar 58.700 orang (4,22 %) dengan garis kemiskinan Rp 162.723 per kapita per bulan. Angka ini naik pada tahun 2007 menjadi 77.600 orang (5,26 %) dengan garis kemiskinan Rp 171.870 per kapita per bulan.
d. Masalah kriminalitas
Masalah selanjutnya yang dapat ditimbulkan adalah kriminalitas. Kriminalitas dapat muncul akibat dari kemiskinan berkepanjangan. Perlunya biaya untuk memenuhi kebutuhan hidup menyebabkan seseorang dapat melakukan tindak kriminalitas. Selain itu, kejahatan atau kriminalitas juga ditentukan oleh faktor kesempatan untuk melakukannya.
Langkah-Langkah untuk Mengatasi Berbagai Dampak yang Ditimbulkan
Diperlukan beberapa langkah untuk dapat mengatasi permasalahan yang ada di Kota Semarang ini. Namun, langkah yang terbaik adalah dengan memperbaiki penyebab mendasar dari permasalahan-permasalahan tersebut, yaitu mengenai pertumbuhan penduduk yang tinggi dan cepat. Untuk mencegah pertumbuhan penduduk yang tinggi, diperlukan berbagai kebijakan yang strategis untuk mengendalikannya, seperti perlunya pemerintah Kota Semarang untuk melakukan review atau pengkajian ulang secara berkelanjutan atas semua kebijakan dan regulasi yang diperkirakan akan memacu pertumbuhan industri padat modal yang tidak ramah lingkungan dan berteknologi tinggi sehingga menghambat penyerapan angkatan kerja.
Menurut Saratri (2009) pada sisi lain, regulasi yang ada jangan sampai menghambat kegiatan perekonomian kota yang dijalankan oleh masyarakat ekonomi menengah ke bawah, serta sektor informal lainnya. Rencana tata ruang kota tidak hanya menekankan rencana jangka panjang (20-25 tahun) atau menekankan rencana fisik, namun produknya harus terus berproses dan memiliki unsur strategis serta terkoordinasi antara pemerintah, perencana, dan masyarakat penggunanya. Dengan kata lain, rencana kota semacam ini bukan hanya merupakan sebuah model, namun memang merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan pembangunan. Masterplan juga harus efektif untuk memecahkan masalah yang mendasar terutama digunakan sebagai salah satu alat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
Untuk mengatasi permasalahan banjir, perlu dilakukan penelitian untuk mencari sumber atau penyebab utama rob dan banjir di Kota Semarang lalu membuat konsep yang matang untuk program pelaksanaannya, terutama perlu dilakukan pembenahan terhadap masterplan sistem drainase di Kota Semarang. Pemerintah juga harus mengeluarkan peraturan tegas tentang izin pendirian bangunan untuk kawasan-kawasan yang diperbolehkan untuk dilakukan pendirian sehingga pembangunan sebuah kawasan pemukiman tidak hanya menawarkan kenyamanan dan keindahan pemandangan saja tetapi juga keamanan untuk ditempati.
Sedangkan untuk masalah pengangguran, pemerintah Kota Semarang perlu menyediakan lapangan dan kesempatan kerja baru dan lebih luas bagi para pendatang. Memberi tempat khusus kepada mereka untuk mengembangkan keterampilan dan modal yang mereka miliki. Membuka sebuah tempat yang dapat mereka gunakan untuk mendapat keterampilan kerja dan pendidikan lebih dengan biaya murah, mengingat mereka melakukan urbanisasi adalah untuk mendapat fasilitas yang lebih memadai di kota. Jika masalah pengangguran ini dapat diatasi, akibat dari pengangguran seperti kemiskinan dan kriminalitas dapat diatasi pula.
Sumber :
Anonim. 2008. “ Masalah Kemacetan Kota Semarang,” dalam http://88DB.com.
. 2009. “ Permasalahan Kota,” dalam http://www.kotatropis.ueuo.com.
Catanese, Anthony J. dan James C. Snyder. 1998. Perencanaan Kota. Terj. Wahyudi. Jakarta : Erlangga.
Wilonoyudho, Saratri. 2009. “ Banjir dan tata ruang Kota Semarang,” dalam Cyber News. http://www.wawasandigital.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar